Ada Kalanya Kesedihan Tak Perlu Dituliskan

Sorrow

Claribel Alegría
Terjemahan Inggris oleh Carolyn Forché dari Saudade (1999)
edisi dwibahasa, Curbstone Press, 1999





Ada kalanya kesedihan hanya harus direnungi dan dijalani tanpa harus dituliskan. Bahkan bagi seorang penyair sekelas Claribel Alegría.



Claribel Alegría adalah penyair dan aktivis kenamaan dari El Salvador, yang salah satu buku suntingannya pernah saya resensi di sini. Selama puluhan tahun ia dan suaminya, Darwin J. Flakoll, menuliskan sejarah negeri dan rakyat mereka, mencatat detail-detail perjuangan gerakan Sandinista, dan ikut berjuang agar El Salvador terbebas dari tirani. Meninggalnya sang suami pada 1995 menghempaskan Alegría pada kesedihan mendalam. 



Judul asli kumpulan puisi ini, Saudade, adalah frase yang tak mudah dicari terjemahan/padanannya (seperti dijelaskan di artikel wiki ini). Judul Sorrow yang dipakai untuk edisi Inggris juga tidak begitu tepat sebenarnya. Saudade mirip "kangen", namun lebih keras dari itu. Dalam bayangan saya, mungkin frase "rindu dendam" dari J.E. Tatengkeng bisa dipakai untuk menggambarkannya.



Dalam situasi diri yang limbung itu Alegría pergi ke Thailand dan Indonesia untuk mencari ketenangan batin dan "bercakap-cakap" dengan suaminya. Ini menarik buat saya, bagaimana Asia dipandang sebagai tempat kebatinan bukan cuma oleh bule-bule dari Dunia Pertama macam Elizabeth Gilbert dg Eat, Shit, Make Love-nya itu (eh, judulnya salah ya?), namun juga buat orang Amerika Latin yang notabene sama-sama "Dunia Ketiga", di mana Amerika Latin sendiri juga dipandang eksotis oleh bule-bule Dunia Pertama. Orientalisme rupanya memang telah tertanam begitu kuat dalam imajinasi banyak orang.



Kepergian ke Timur inilah yang kemudian melahirkan kumpulan puisi ini, yang --maaf--menurut saya tidak menampakkan kualitas Alegría sebagai salah satu penyair terpenting Amerika Latin. Lihatlah puisi pertama "Salí a buscarte" ("Aku pergi mencarimu"), hlm. 2:



Salí a buscarte

atravesé valles

y montañas

surqué mares lejanos

le pregunté a las nubes

y al viento

inútil todo

inútil

dentro de mí estabas



Aku pergi mencarimu

lintasi lembah

dan pegunungan

arungi laut nun di kejauhan

bertanya pada awan

dan angin

segala percuma

percuma

kau toh ada dalam diriku




Frase "lintasi lembah, pegunungan, arungi laut" tidakkah terdengar seperti lirik lagu dangdut? Begitu klise dan bombastis. Namun ada beberapa lainnya yang menggetarkan, ketika perasaan kehilangan dan kerinduan diekspresikan dalam majas yang lebih sublim, termasuk puisinya yang dibuat di Jakarta ini, "No importa si en Yakarta" ("Tidak soal apakah di Jakarta"), hlm. 84:



No importa si en Yakarta

en París

o en Umbria

el espejo me habla

en español



Tidak soal apakah di Jakarta

di Paris

atau di Umbria

cermin bicara padaku

dalam bahasa Spanyol




Maka begitulah, ada kalanya kesedihan tak perlu (langsung) dituliskan. Orang butuh waktu untuk bisa meletakkan kondisi diri dalam perspektif, yang mungkin merupakan salah satu cara untuk menghindari mediokritas. Namun tentu penilaian saya ini hanya tertuju pada kualitas puisi yang ada, dan sama sekali tak bermaksud menghakimi perasaan Alegría bahwa sentimentalitas yang dirasakannya itu "dangdutan."



Medioker atau tidak, Alegría sudah jujur menuliskannya. Dan menurutnya ia memang harus menuliskannya, agar sang suami tetap "ada", seperti terungkap dalam puisinya "Cada vez" ("Tiap kali"), hlm. 92:



Cada vez

que los nombros

resucitan mis muertos



Tiap kali

kunamai

bangkitlah lagi orang-orangku yang mati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sampah dan Orang Sisa-sisa

"Duabelas Perempuan di Tahun Keduabelas", oleh Subcomandante Marcos